Senin, 24 Agustus 2009

TIM RASKIN KABUPATEN SUMENEP ADAKAN MONITORING


Tim Raskin Kabupaten Sumenep, Selasa (04/08) kemarin mengadakan monitoring dan evaluasi pelaksanaan raskin di Kecamatan Kota Sumenep yang dipusatkan di Pendopo Kantor Kecamatan setempat.

Kepala Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kabupaten Sumenep selaku Ketua Tim Raskin Kabupaten Sumenep, H. Moh. Sadik, S.Sos sebelum turun ke Desa-desa/Kelurahan, menyempatkan diri untuk mengadakan tatap muka dengan para Kepala Desa/Lurah se Kecamatan Kota Sumenep.

H. Moh. Sadik menjelaskan, Tim Raskin dalam mengadakan monitoring dan evaluasi ini bertujuan untuk memberikan pembinaan dan membantu Tim Raskin Kecamatan maupun Desa dalam bidang administrasi, bahkan untuk membantu masyarakat miskin dalam rangka menjembatani penyaluran raskin sesuai dengan aturan yang ada.

H. Moh. Sadik menjelaskan, apabila ada pergantian kepemimpinan, khususnya di Desa/Kelurahan seringkali diikuti oleh perubahan data orang miskin. Hal ini akan mengundang permasalahan yang terkait dengan penyaluran raskin.

Dikatakan, menurut aturan pemerintah, penerima raskin harus sesuai dengan daftar penerima, sedangkan masyarakat menginginkan adanya pemerataan.

“Sebelum disalurkannya bantuan raskin, pemerintah mengadakan pendataan rumah tangga miskin (RTM) melalui Badan Pusat Statistik (BPS), bukan menurut Kepala Keluarga (KK) miskin, seperti versi masyarakat,” jelas H. Moh. Sadik.

H. Moh. Sadik berharap kepada para Kepala Desa, jika ada pendataan harus diteliti kembali kebenaran dan validitas data tersebut. Sebab hal itu akan berdampak pada pembagian raskin.

Kepala Desa/Lurah harus melaksanakan pembagian raskin sesuai dengan petunjuk
teknis (juknis) yang ada, termasuk pembenahan administrasinya.[smbr.sumenep.go.id]

SUAMI DIANIAYA PETUGAS RUTAN, ISTRI LAPOR KE POLRES


[ Senin, 29 Juni 2009 pukul 15:54 wib.

Seorang tahanan titipan Kejaksaan Negeri Sumenep, Abdul Aziz Salim Sabibie di duga dianiaya dan dikeroyok oleh 4 petugas Rumah Tahanan (Rutan) Sumenep. Akibatnya, korban mengalami luka memar di bagian punggung kanan, lengan kiri memar, bibir atas pecah, gusi bagian bawah pecah dan kaki kiri pincang.

Menurut pengacara Abdul Aziz Salim Sabibie, Fahmi Bachmid, tindakan ini merupakan kejahatan, karena melakukan penganiayaan. Seharusnya seorang tahanan itu dibina bukan disiksa. “Ini kan sama dengan melanggar hak azasi manusia,” tegasnya.

Fahmi mengatakan, penganiayaan terhadap kliennya ini akan dilaporkan ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkum HAM), kepolisian dan juga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

“Untuk ke Polres Sumenep, kami akan meminta perlindungan dan pengusutan kasus penganiayaan tersebut. Kemudian ke Depkum HAM mereka minta lembaga tersebut untuk menurunkan Tim menyelidiki kasus tersebut. Sedangkan ke Komnas HAM, karena ada pelanggaran hak azasi,”katanya.

Sementara, istri korban Asni Hidayah (30), warga Desa Kolor, Kecamatan Kota Sumenep, Senin (29/06) pagi, mendatangi Polres setempat, untuk melaporkan dugaan penganiayaan yang menimpa korban.

Ia mengaku, baru tahu setelah dihubungi via telepon oleh suaminya hari Minggu kemarin. Saat itu suaminya mengaku, jika terjadi penganiayaan yang dilakukan 4 petugas Rutan Sumenep. “Saya terkejut, kenapa ada penganiayaan di dalam rutan. Karena suami saya memang pincang dan mengalami luka serius, maka saya laporan ke polisi,”ujarnya.

Kejadian penganiayaan terjadi Sabtu siang (27/06), namun istrinya baru diberitahu Minggu sore (28/06). Dalam laporan polisi, disebutkan terlapor ada 4 orang, yakni Asmaji dan kawan-kawan (dkk).

Menanggapi laporan tersebut, Kasat Reskrim Polres Sumenep, AKP Mualimin, mengaku telah menerima surat laporan dari istri korban. Dan, saat ini masih menjalani proses pemeriksaan.

“Kami akan tindak lanjuti laporan dugaan penganiayaan itu, sesuai mekanisme dan prosedur yang ada. Para saksi yang diajukan pelapor, akan segera dipanggil. Dan, kami juga akan melakukan koordinasi untuk mendapatkan hasil visum terhadap korban, Azis Salim Sabibi tersebut,”ungkapnya.

Abdul Aziz Salim Sabibie merupakan terdakwa kasus korupsi perbaikan rumah di pulau terpencil di Sumenep. Kasus Aziz sudah masuk masa putusan sela. Aziz dititipkan di Rutan selama 2 bulan.

Disisi lain, Kepala Rutan Kabupaten Sumenep, Mudji Widodo mengatakan, dugaan penganiayaan itu tidak berkaitan dengan hak dan kewajiban seorang penghuni Rutan. Namun hanya salah paham dengan petugas sipir.

“Petugas yang merasa tersinggung dengan kata-kata Aziz langsung memukulnya,” terangnya.

Adanya baku hantam ini menyebabkan rekan-rekan sipir ikut melerai termasuk Kepala Rutan. Setelah insiden itu, pihaknya membawa perkara dan melaporkan kasus ini ke Kantor Wilayah Jatim di Surabaya.[http://www.sumenep.go.id]

Sumenep Terima Dana Kompensasi Migas Rp3,9 Miliar

SUMENEP–MI:Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, menerima dana community development (comdev) dari sektor eksploitasi minyak dan gas (migas) Rp3,9 miliar.

Dana itu diperoleh dari dua Kelompok Kontraktor Kerja Sama (KKKS) pengeboran migas di wilayah kabupaten tersebut. Kedua KKKS itu adalah PT Kangean Energy Indonesia (KEI) yang melakukan aktivitas eksploitasi di Pulau Pagerungan, Kecamatan Sapeken, sebesar Rp. 2,5 miliar dan Rp1,4 miliar lagi dari PT Santos Ltd yang mengeksploitasi gas di Perairan Gili Genting, Kecamatan Gili Genting.

Ketua Tim Comdev Pemkab Sumenep Mochammad Dahlan di Sumenep, Rabu (9/7), mengatakan dana comdev itu merupakan bentuk bagi hasil dari kegiatan pengeboran gas di wilayahnya.

Sesuai peraturan yang ada, kami menerima bagi hasil itu dalam bentuk dan

partisipasi pembangunan sebesar 10, kata Dahlan.

Dana itu akan digunakan untuk melaksanakan kegiatan pembangunan komunitas bidang pendidikan, kesehatan, dan peningkatan ekonomi warga yang berada di sekitar lokasi pengeboran migas. Selain itu juga digunakan untuk pembangunan fasilitas umum, sosial dan lingkungan.

Dahlan yang juga Wakil Bupati Sumenep menjelaskan, bentuk kegiatan yang akan dilaksanakan bergantung pada kebutuhan masyarakat yang usulannya sudah masuk ke Tim Comdev. Usulan itu, sudah dikaji oleh tim dari operator pengeboran migas bersama kelompok masyarakat yang dibentuk melalui musyawarah di setiap desa.

Tim Comdev Kabupaten hanya menetapkan skala prioritas berdasar usulan yang sudah disepakati bersama antara masyarakat dengan operator pengeboran migas, ujar Dahlan. (MG/OL-01).Smbr.www.koranindonesia.com

Kabar Sumenep


Akulturasi pada Keraton Sumenep dan Masjid Jamik di Madura

Bila sejenak menyeberang ke Pulau Madura, 90 kilometer dari Pelabuhan Bangkalan, kita akan menjumpai kota yang terkenal dengan julukannya ”Putri Koneng” atau Sumenep.
Pada abad ke-12, di Sumenep berdiri kerajaan dan baru pada tahun 1762 Pangeran Notokusumo atau Panembahan Sumolo mendirikan keraton dengan arsiteknya Liaw Piau Ngo.
Karena kekaguman raja terhadap desain Liaw Piau Ngo, beliau meminta untuk dibangunkan masjid tepat di depan keraton pada tahun 1771. Masjid itu kini dikenal dengan nama Masjid Jamik Sumenep.


oleh: Lilianny S Arifin


Keraton ini pernah dipugar pada tahun 1975 dan sampai sekarang menjadi obyek pariwisata yang sangat bersejarah di Madura. Di sana kita dapat mempelajari nilai-nilai akulturasi yang terjadi lebih dari 200 tahun lalu.


Bila berkunjung ke keraton ini, kita akan disambut gerbang labang mesem. Gerbang ini dari depan tampak bersusun tiga. Lantai dua berfungsi sebagai tempat prajurit penjaga keamanan dan lantai tiga berisi lonceng yang akan dibunyikan bila ada tamu datang, sebagai tanda bagi para penjaga keraton di dalam bahwa ada tamu datang.
Mirip dengan keraton di Jawa Tengah, Keraton Sumenep mempunyai pendopo yang berfungsi sebagai tempat menerima tamu dan upacara adat. Dari halaman yang luas tampak bangunan pendopo berkesan kokoh, tetapi ramah. Di bagian atap dapat kita temukan detail nuansa atap kelenteng China, sedangkan kolom-kolomnya terlihat kokoh seperti bangunan zaman kolonial yang mempunyai ketebalan satu setengah bata.


Pada bagian dalam, langit-langit tertutup dengan papan-papan kayu yang sangat rapi dicat warna kuning. Menurut penjaga keraton, warna kuning tetap dipertahankan karena melambangkan kekuningan warna kulit permaisuri Ratu Ayu Tirto Negoro yang lebih dikenal dengan nama Putri Koneng (kuning). Dia adalah putri dari kerajaan di China.
Klungkungan menghubungkan ruang pendopo dengan bagian dalam keraton. Ruang berbentuk lorong terbuka ini didukung kolom-kolom berukuran 40 x 40 cm dari batu bata. Bagian dalam keraton adalah tempat raja serta keluarganya bersemayam dan serambi kanan-kiri tempat para pembantu rumah tangga tinggal.


Bila menengok kamar tidur raja, kita dapat menemukan ranjang yang masih asli dengan bentuk ukiran mirip batik pekalongan bermotif paduan antara gambar burung dan bunga. Warna yang cerah didominasi merah dan kuning. Di bagian timur pendopo ada kolam keputren, mirip Taman Sari di Keraton Yogyakarta dan fungsinya sama, yaitu untuk mandi para putri raja.


Di bagian kiri gapura ada bangunan yang disebut kantor koneng, merupakan tempat kerja Ratu Ayu Tirto Negoro, dan sekarang dijadikan museum alat-alat rumah tangga. Banyak koleksi keramik Cina yang boleh dibeli dengan harga relatif murah dibandingkan dengan usianya.


Masjid Jamik


Dari keraton kita dapat melayangkan pandangan ke Masjid Jamik. Sekilas kita menemukan kesan sebuah bangunan Eropa dengan warna kuning menyala di sana. Namun, bila kita tatap ujung paling atas bangunan, kembali kita menemukan bentukan yang mempunyai corak arsitektur kelenteng. Pada bagian ujung atap ditarik melengkung sedikit ke dalam.


Proses akulturasi juga terlihat pada bagaimana kolom-kolom dengan bentuk busur gaya Eropa dipadu dengan bentuk memolo atau mahkota gaya China. Bila masuk ke dalam masjid itu, kita akan menjumpai lukisan-lukisan mosaik pengaruh Arab.


Warna emas mencerminkan suatu kebesaran, keagungan, dan juga berhubungan dengan martabat seseorang. Hal ini dapat dihubungkan dengan budaya kaum Madura yang sangat bangga bila mereka dapat memakai perhiasan besar dari emas.


Dari dua karya arsitektur di atas, kita dapat belajar nilai akulturasi yang menyimpan makna sebagai perpaduan dari dua kebudayaan atau lebih. Perpaduan kebudayaan tersebut menunjukkan adanya upaya untuk saling menumbuhkan toleransi, bukan untuk saling mendominasi, dan akhirnya melebur menjadi satu.


Proses akulturasi antara kebudayaan di Indonesia dan kebudayaan Eropa sudah dimulai ketika kapal-kapal Portugis tiba di Maluku dan di Nusa Tenggara awal abad ke-16 (Koentjaraningrat 1996). Demikian juga ketika bangsa-bangsa dari negeri China melakukan hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara.


Salah satu produk hasil akulturasi adalah karya arsitektur. Beberapa karya arsitektur merupakan hasil penghayatan suatu agama, dapat digunakan sebagai alat pendidikan yang mudah dicerna siswa. Pemahaman bentuk dengan memahami sejarahnya akan membawa kita pada cakrawala baru untuk memahami arti perbedaan dan sebab dari perbedaan sehingga siswa belajar bertoleransi dan tanggap terhadap perbedaan tanpa merasa dikecilkan artinya atau merasa ditinggikan.


Dari kedua karya arsitektur di Sumenep ini, kita belajar adanya proses akulturasi budaya lewat karya sehingga kita bukan saja melihat indahnya perpaduan karya arsitektur, tetapi juga dapat belajar makna toleransi dalam akulturasi.


Lilianny S Arifin, Laboratorium Sejarah & Teori Arsitektur, Universitas Kristen Petra
Sumber: Kompas, Minggu, 05 Februari 2006